Pribumi
dan Non Pribumi
Siapa
yang menjadi warganegara dalam Pasal 26 UUD 1945?
dalam
Undang Undang Dasar 1945 pasal 26 menyatakan tentang siapa yang menjadi warga
negara. Pasal ini terdiri dari tiga pasal:
(1)
Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan
orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga
negara.
(2)
Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di
Indonesia.
(3)
Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang.
Pribumi Dan Non-Pribumi
Dari
KBBI, pribumi adalah penghuni asli, orang yang berasal dari tempat yang
bersangkutan. Sedangkan non-pribumi berarti yang bukan pribumi atau penduduk
yang bukan penduduk asli suatu negara. Dari makna tersebut, pribumi berarti
penduduk yang asli (lahir, tumbuh, dan berkembang) berasal dari tempat negara
tersebut berada. Jadi, anak dari orang tua yang lahir dan berkembang di
Indonesia adalah orang pribumi, meskipun sang kakek-nenek adalah orang asing.
Namun
pendapat yang beredar luas di Indonesia mengenai istilah pribumi dan
non-pribumi adalah pribumi didefinisikan sebagai penduduk Indonesia yang
berasal dari suku-suku asli (mayoritas) di Indonesia. Sehingga, penduduk
Indonesia keturunan Tionghoa, India, ekspatriat asing (umumnya kulit putih),
maupun campuran sering dikelompokkan sebagai non-pribumi meski telah beberapa
generasi dilahirkan di Indonesia. Pendapat seperti itu karena sentimen
masyarakat luas yang cenderung mengklasifikasikan penduduk Indonesia
berdasarkan warna kulit mereka.
Selain
warna kulit, sebagian besar masyarakat mendefinisikan sendiri (melalui
informasi luar) berdasarkan budaya dan agama. Sehingga jika penduduk Indonesia
keturunan Tionghoa dianggap sebagai non pribumi, maka penduduk Indonesia
keturunan Arab (bukan dari suku asli) dianggap sebagai pribumi.
Golongan
pribumi dan non-pribumi muncul sebagai akibat adanya perbedaan mendasar
(diskriminasi) terutama dalam perlakuan yang berbeda oleh rezim yang sedang
berkuasa. Ini hanya terjadi jika rezim yang berkuasa adalah pemerintahan
otoriter, penjajah dan kroninya ataupun nasionalisme yang sempit. Contoh, di
zaman penjajahan Belanda, Belanda memperlakukan orang di Indonesia secara
berbeda didasari oleh etnik/keturunan. Mereka yang berketurunan Belanda akan
mendapat pelayanan kelas wahid, sedangkan golongan pengusaha/pedagang mendapat
kelas kedua, sedangkan masyarakat umum (penduduk asli) diperlakukan sebagai
kelas rendah (“kasta sudra”).
Setelah
merdeka, para pejuang kemerdekaan kita (Bung Karno, Hatta, Syahrir, dll)
berusaha menghapuskan diskriminasi tersebut. Para founding father Bangsa
Indonesia menyadari bahwa selama adanya diskriminasi antar golongan rakyat,
maka persatuan negara ini menjadi rentan, mudah diobok-obok oleh kepentingan
neo-imperialisme. Bung Karno telah meneliti hal tersebut melalui tulisan beliau
di majalah “Suluh Indonesia” yang diterbitkan tahun 1926. Ia berpendapat bahwa untuk memperjuangkan
kemerdekaan bangsa dan membangun bangsa yang kuat dibutuhkan semua
elemen/golongan Untuk itu beliau
mengajukan untuk menyatukan kekuatan dari golongan Nasionalisme, Islamisme, dan
Marxisme sebagai kekuatan superpower. Hal inilah yang ditakuti oleh Amerika dan
sekutunya serta para pemberontak (penghianat, separatis) di negeri ini dengan
berbagai alibi.
Setelah
pemerintahan Bung Karno direbut oleh kekuatan liberalis-kapitalis melalui
Jenderal yang berkuasa dengan tangan besi, Pak Harto, maka konotasi pribumi dan
non-pribumi kembali “terpelihara subur”. Agenda pembangunan makro yang
direntenir oleh IMF dan Bank Dunia membutuhkan golongan istimewa (haruslah
minoritas) serta mengabaikan golongan mayoritas. Maka perjalanan bangsa
setelahnya menjadi pincang yang luar biasa. Segelintir golongan memperkaya diri
yang luar biasa, sedangkan golongan terbesar harus bekerja keras dengan
kesejahteraan pas-pasan. Indonesia yang kaya raya dengan sumber daya alam baik
di darat maupun laut hanyalah dirasakan oleh golongan penguasan dan
“peliharaan” penguasa. Rakyat jelata hanya menerima ampas kekayaan alam Indonesia.
Semua sari kekayaan di”sedot’ oleh perusahaan asing dan segelintir penghianat
bangsa.
Inilah
mengapa, diera orde baru, konflik
horizontal antara penduduk miskin (disebut
dan dilabeli sebagai pribumi) dengan si kaya (umumnya dilabeli sebagai
non pribumi) berkembang dan namun erpendam. Kebencian diskriminasi ini akhirnya
pecah di tahun 1998. Namun sangat disayangkan, hanya segelintir kelompok si
kaya – “non-pribumi” yang kena getahnya. Massa kepalang berpikiran semua orang
keturunan adalah non-pribumi, sehingga gerakan mereka ibarat “menembak burung
di angkasa raya, namun sapi di sawah yang mati”. Burung (penguasa, penghianat,
si-kaya) masih beterbangan di angkasa Indonesia, Singapura, dan Amerika. Hingga saat ini, pemerintah hanya dapat
menonton “burung-burung” tersebut beterbangan bebas……Yang tewas adalah rakyat
miskin dan jelata.
Golongan
pribumi dan non-pribumi muncul sebagai akibat adanya perbedaan mendasar
(diskriminasi) terutama dalam perlakuan yang berbeda oleh rezim yang sedang
berkuasa. Ini hanya terjadi jika rezim yang berkuasa adalah pemerintahan
otoriter, penjajah dan kroninya ataupun nasionalisme yang sempit. Contoh, di
zaman penjajahan Belanda, Belanda memperlakukan orang di Indonesia secara
berbeda didasari oleh etnik/keturunan. Mereka yang berketurunan Belanda akan
mendapat pelayanan kelas wahid, sedangkan golongan pengusaha/pedagang mendapat
kelas kedua, sedangkan masyarakat umum (penduduk asli) diperlakukan sebagai
kelas rendah (“kasta sudra”).
Setelah
merdeka, para pejuang kemerdekaan kita (Bung Karno, Hatta, Syahrir, dll)
berusaha menghapuskan diskriminasi tersebut. Para founding father Bangsa
Indonesia menyadari bahwa selama adanya diskriminasi antar golongan rakyat,
maka persatuan negara ini menjadi rentan, mudah diobok-obok oleh kepentingan
neo-imperialisme. Bung Karno telah meneliti hal tersebut melalui tulisan beliau
di majalah “Suluh Indonesia” yang diterbitkan tahun 1926. Ia berpendapat bahwa untuk memperjuangkan
kemerdekaan bangsa dan membangun bangsa yang kuat dibutuhkan semua
elemen/golongan Untuk itu beliau
mengajukan untuk menyatukan kekuatan dari golongan Nasionalisme, Islamisme, dan
Marxisme sebagai kekuatan superpower. Hal inilah yang ditakuti oleh Amerika dan
sekutunya serta para pemberontak (penghianat, separatis) di negeri ini dengan
berbagai alibi.
Setelah
pemerintahan Bung Karno direbut oleh kekuatan liberalis-kapitalis melalui
Jenderal yang berkuasa dengan tangan besi, Pak Harto, maka konotasi pribumi dan
non-pribumi kembali “terpelihara subur”. Agenda pembangunan makro yang
direntenir oleh IMF dan Bank Dunia membutuhkan golongan istimewa (haruslah
minoritas) serta mengabaikan golongan mayoritas. Maka perjalanan bangsa
setelahnya menjadi pincang yang luar biasa. Segelintir golongan memperkaya diri
yang luar biasa, sedangkan golongan terbesar harus bekerja keras dengan
kesejahteraan pas-pasan. Indonesia yang kaya raya dengan sumber daya alam baik
di darat maupun laut hanyalah dirasakan oleh golongan penguasan dan
“peliharaan” penguasa. Rakyat jelata hanya menerima ampas kekayaan alam Indonesia.
Semua sari kekayaan di”sedot’ oleh perusahaan asing dan segelintir penghianat
bangsa.
Inilah
mengapa, diera orde baru, konflik
horizontal antara penduduk miskin (disebut
dan dilabeli sebagai pribumi) dengan si kaya (umumnya dilabeli sebagai
non pribumi) berkembang dan namun erpendam. Kebencian diskriminasi ini akhirnya
pecah di tahun 1998. Namun sangat disayangkan, hanya segelintir kelompok si
kaya – “non-pribumi” yang kena getahnya. Massa kepalang berpikiran semua orang
keturunan adalah non-pribumi, sehingga gerakan mereka ibarat “menembak burung
di angkasa raya, namun sapi di sawah yang mati”. Burung (penguasa, penghianat,
si-kaya) masih beterbangan di angkasa Indonesia, Singapura, dan Amerika. Hingga saat ini, pemerintah hanya dapat
menonton “burung-burung” tersebut beterbangan bebas……Yang tewas adalah rakyat
miskin dan jelata.
Sebagai
warga negara Indonesia, kita memiliki hak dan kewajiban membangun bangsa ini.
Kita wajib menyadarkan sesama kita – bangsa kita bahwa tantangan terbesar yang
sedang kita hadapi bukanlah etnis, suku,warna kulit ataupun agama. Bukan juga
perbedaan pribumi dan non-pribumi. Tapi hal yang terbesar adalah ketidakadilan,
pemiskinan, lunturnya nasionalisme membangun bangsa, dan ancaman hegomoni asing
dalam bentuk ekonomi, politik, pertahanan dan multi nasional company.
Perjuangan kita adalah untuk mewujudkan sistem pemerintah yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial.
Karena
istilah pribumi dan non-pribumi diciptakan oleh penjajah dan penguasa yang
kejam, sudah saatnya kita harus meninggalkan istilah tersebut. Kekuatan rakyat
harus menciptakan sendiri istilah yang baru, yakni “patriot” dan “penghianat”.
Seorang patriot adalah yang memperjuangkan negara dan tanah airnya demi
kesejahteraan dan kemandirian bangsa. Untuk itu kita dukung perjuangan para
patriot tersebut saat ini. Sedangkan golongan kedua adalah penghianat, mereka
yang merusak bangsa kita demi kepentingan pribadi ataupun golongan dengan
menghancurkan kepentingan bangsa dan negara. Mereka yang mengobral aset bangsa,
kebijakan pro-konglomerasi, dan memakan uang rakyat serta membangun dinasti
keluarga di pemerintahan, legislatif maupun penegak hukum. Kita perlu
memata-matai tindak tanduk mereka, dan memperjuangkan hukum untuk mengadili
para penghianat tersebut.
Tentunya
gerakan reformasi rakyat untuk melawan penghianat dan penjajah baru ini bukanlah dengan revolusi berdarah, tapi dapat dilakukan dengan reformasi rakyat
terutama dari pemimpin pemerintah, penegak hukum, serta mereformasi badan
legislatif yang masih lemah. Dan tidak kalah penting adalah sistem edukasi di
lembaga pendidikan. Untuk itu,
diharapkan para tokoh bangsa turut mengawasi para penguasa di negeri ini, serta
edukasi masyarakat untuk memilih pemimpin yang patriot, bukan pemimpin sekadar
populer.
Setelah
era reformasi, beberapa tokoh bangsa Indonesia berusaha mengangkat kembali
kekuatan persatuan dengan menghilangkan diskriminasi perusak bangsa. Reformasi
birokrasi yang menghasilkan sedikit perubahan dalam mengurangi praktik
pemerintahan KKN yang sarat dengan bau kekeluargaan, etnis, dan agama. Maka disusunlah UU Kewarganegaran serta
menghilangkan secara hukum diskriminasi bagi etnis Tionghoa dan etnis minoritas
di era Gusdur.
Setelah
berlakunya UU 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, maka
setiap manusia yang lahir di Indonesia dianggap warga negara Indonesia tanpa
ada memandang embel-embel pribumi atau non-pribumi yang melekat karena
perbedaan latar belakang etnis. Yang diberlakukan saat ini adalah warga negara.
Ada
beberapa kriteria Warga Negara Indonesia (WNI) dalam UU 12 tahun 2006 (diambil
sebagian) adalah:
- Seorang yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah WNI dan Ibu WNI, ayah WNI dan ibu WNA, atau ayah WNA dan ibu WNI.
- anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya
- Orang asing yang telah berjasa kepada negara Republik Indonesia atau dengan alasan kepentingan negara (diberikan oleh Presiden dan pertimbangan DPR RI)
Jawab pertanyaan:
penduduk wilayah Nusantara hanya
terdiri dari dua golongan yakni Pithecantropus Erectus beserta manusia
Indonesia purba lainnya dan keturunan bangsa pendatang di luar Nusantara yang
datang dalam beberapa gelombang.
Berdasarkan fosil-fosil yang
telah ditemukan di wilayah Indonesia, dapat dipastikan bahwa sejak 2.000.000
(dua juta) tahun yang lalu wilayah ini telah dihuni. Penghuninya adalah
manusia-manusia purba dengan kebudayaan batu tua atau mesolithicum seperti
Meganthropus Palaeo Javanicus, Pithecanthropus Erectus, Homo Soloensis dan
sebagainya. Manusia-manusia purba ini sesungguhnya lebih mirip dengan
manusia-manusia yang kini dikenal sebagai penduduk asli Australia.
Dengan demikian, yang berhak
mengklaim dirinya sebagai “penduduk asli Indonesia” adalah kaum Negroid, atau
Austroloid, yang berkulit hitam. Manusia Indonesia purba membawa kebudayaan
batu tua atau palaeolitikum yang masih hidup secara nomaden atau berpindah
dengan mata pencaharian berburu binatang dan meramu. Wilayah Nusantara kemudian
kedatangan bangsa Melanesoide yang berasal dari teluk Tonkin, tepatnya dari
Bacson-Hoabinh. Dari artefak-artefak yang ditemukan di tempat asalnya
menunjukan bahwa induk bangsa ini berkulit hitam berbadan kecil dan termasuk
type Veddoid-Austrolaid.
Bangsa Melanesoide dengan kebudayaan mesolitikum yang sudah mulai hidup menetap dalam kelompok, sudah mengenal api, meramu dan berburu binatang.Teknologi pertanian juga sudah mereka genggam sekalipun mereka belum dapat menjaga agar satu bidang tanah dapat ditanami berkali-kali. Cara bertani mereka masih dengan sistem perladangan. Dengan demikian, mereka harus berpindah ketika lahan yang lama tidak bisa ditanami lagi atau karena habisnya makanan ternak. Gaya hidup ini dinamakan semi nomaden. Dalam setiap perpindahan manusia beserta kebudayaan yang datang ke Nusantara, selalu dilakukan oleh bangsa yang tingkat peradabannya lebih tinggi dari bangsa yang datang sebelumnya.
Bangsa Melanesoide dengan kebudayaan mesolitikum yang sudah mulai hidup menetap dalam kelompok, sudah mengenal api, meramu dan berburu binatang.Teknologi pertanian juga sudah mereka genggam sekalipun mereka belum dapat menjaga agar satu bidang tanah dapat ditanami berkali-kali. Cara bertani mereka masih dengan sistem perladangan. Dengan demikian, mereka harus berpindah ketika lahan yang lama tidak bisa ditanami lagi atau karena habisnya makanan ternak. Gaya hidup ini dinamakan semi nomaden. Dalam setiap perpindahan manusia beserta kebudayaan yang datang ke Nusantara, selalu dilakukan oleh bangsa yang tingkat peradabannya lebih tinggi dari bangsa yang datang sebelumnya.
2. Kenapa timbul isu istilah pribumi dan
non pribumi ?
Golongan pribumi dan
non-pribumi muncul sebagai akibat adanya perbedaan mendasar (diskriminasi)
terutama dalam perlakuan
yang berbeda oleh rezim yang sedang berkuasa. Ini
hanya terjadi jika rezim yang berkuasa adalah pemerintahan otoriter, penjajah
dan kroninya ataupun nasionalisme yang sempit. Contoh, di zaman penjajahan
Belanda, Belanda memperlakukan orang di Indonesia secara berbeda didasari oleh
etnik/keturunan. Mereka yang berketurunan Belanda akan mendapat pelayanan kelas
wahid, sedangkan golongan pengusaha/pedagang mendapat kelas kedua, sedangkan
masyarakat umum (penduduk asli) diperlakukan sebagai kelas rendah (“kasta
sudra”).
Setelah merdeka, para
pejuang kemerdekaan kita (Bung Karno, Hatta, Syahrir, dll) berusaha
menghapuskan diskriminasi tersebut. Para founding father Bangsa Indonesia
menyadari bahwa selama adanya diskriminasi antar golongan rakyat, maka
persatuan negara ini menjadi rentan, mudah diobok-obok oleh kepentingan
neo-imperialisme. Bung Karno telah
meneliti hal tersebut melalui tulisan beliau di majalah “Suluh Indonesia” yang
diterbitkan tahun 1926. Ia berpendapat bahwa untuk memperjuangkan
kemerdekaan bangsa dan membangun bangsa yang kuat dibutuhkan semua
elemen/golongan Untuk itu beliau mengajukan untuk menyatukan kekuatan
dari golongan Nasionalisme,
Islamisme, dan Marxisme sebagai kekuatan superpower. Hal inilah yang
ditakuti oleh Amerika dan sekutunya serta para pemberontak (penghianat,
separatis) di negeri ini dengan berbagai alibi.
Setelah pemerintahan
Bung Karno direbut oleh kekuatan liberalis-kapitalis melalui Jenderal yang
berkuasa dengan tangan besi, Pak Harto, maka konotasi pribumi dan
non-pribumi kembali “terpelihara subur”. Agenda
pembangunan makro yang direntenir oleh IMF dan Bank Dunia membutuhkan golongan
istimewa (haruslah minoritas) serta mengabaikan golongan mayoritas. Maka
perjalanan bangsa setelahnya menjadi pincang yang luar biasa. Segelintir
golongan memperkaya diri yang luar biasa, sedangkan golongan terbesar harus
bekerja keras dengan kesejahteraan pas-pasan. Indonesia yang kaya raya dengan
sumber daya alam baik di darat maupun laut hanyalah dirasakan oleh golongan
penguasan dan “peliharaan” penguasa. Rakyat jelata hanya menerima ampas
kekayaan alam Indonesia. Semua sari kekayaan di”sedot’ oleh perusahaan asing
dan segelintir penghianat bangsa.
Inilah mengapa,
diera orde baru, konflik horizontal antara penduduk miskin (disebut dan
dilabeli sebagai pribumi) dengan si kaya (umumnya dilabeli sebagai non pribumi)
berkembang dan namun erpendam. Kebencian diskriminasi ini akhirnya pecah di
tahun 1998. Namun sangat disayangkan, hanya segelintir kelompok si
kaya – “non-pribumi” yang kena getahnya. Massa kepalang berpikiran semua orang
keturunan adalah non-pribumi, sehingga gerakan mereka ibarat “menembak burung di angkasa raya, namun sapi di sawah yang
mati”.
Burung (penguasa, penghianat, si-kaya) masih beterbangan di angkasa
Indonesia, Singapura, dan Amerika. Hingga saat ini, pemerintah hanya
dapat menonton “burung-burung” tersebut beterbangan bebas……Yang tewas adalah
rakyat miskin dan jelata.
3. Siapa
saja yang dimaksud non pribumi ?
Pribumi dan non pribumi sejatinya adalah suatu identitas
diri manusia yang dibawa sejak lahir. Seseorang dikatakan sebagai warga pribumi
apabila dilahirkan di suatu tempat atau wilayah atau negara dan menetap di
sana. Pribumi ini bersifat autichton (melekat pada suatu tempat). Secara lebih
khusus, istilah pribumi ditujukan kepada setiap orang yang yang terlahir dengan
orang tua yang juga terlahir di suatu tempat tersebut. Pribumi sendiri memiliki
ciri khas, yakni memiliki bumi (tanah atau tempat tinggal yang berstatus hak
milik pribadi). Namun dari definisi dan penjabaran tentang pribumi di atas
masih menyisakan beberapa pertanyaan.
Seseorang dikatakan pribumi dan non pribumi adalah sekedar
dari melihat fisiknya saja. Dan sudah jelas ini bertentangan tentang makna asli
yang terkandung dari istilah ‘pribumi’. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tidak ada
yang dimaksudkan dengan non pribumi.
4. Kenapa istilah non pribumi yang menonjol
hanya pada etnis tionghoa?
Masa
Orde Baru
Pada
tahun 1965 terjadi pergolakan politik yang maha dasyat di Indonesia, yaitu
pergantian orde, dari orde lama ke orde baru. Orde lama yang memberi ruang
adanya partai Komunis di Indonesia dan orde baru yang membasmi keberadaan
Komunis di Indonesia.
Bersamaan
dengan perubahan politik itu rezim Orde Baru melarang
segala sesuatu yang berbau Cina. Segala kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan
adat-istiadat Cina tidak boleh dilakukan lagi. Hal ini dituangkan ke dalam
Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 1967. Di samping itu, masyarakat
keturunan Cina dicurigai masih memiliki ikatan yang kuat dengan tanah
leluhurnya dan rasa nasionalisme mereka terhadap Negara Indonesia diragukan.
Akibatnya, keluarlah kebijakan yang sangat diskriminatif terhadap masyarakat
keturunan Cina baik dalam bidang politik maupun sosial budaya. Di samping
Inpres No.14 tahun 1967 tersebut, juga dikeluarkan Surat Edaran
No.06/Preskab/6/67 yang memuat tentang perubahan nama. Dalam surat itu
disebutkan bahwa masyarakat keturunan Cina harus mengubah nama Cinanya menjadi
nama yang berbau Indonesia, misalnya Liem Sioe Liong menjadi Sudono Salim.
Selain itu, penggunaan bahasa Cinapun dilarang. Hal ini dituangkan ke dalam
Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978. Tidak hanya
itu saja, gerak-gerik masyarakat Cinapun diawasi oleh sebuah badan yang bernama
Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang menjadi bagian dari Badan Koordinasi
Intelijen (Bakin).
Etnis
Tionghoa Masa Kini (Era Reformasi)
Reformasi yang digulirkan pada 1998 telah banyak menyebabkan perubahan bagi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia. Mereka berupaya memasuki bidang-bidang yang selama 32 tahun tertutup bagi mereka. Kalangan pengusaha Tionghoa kini berusaha menghindari cara-cara kotor dalam berbisnis, walaupun itu tidak mudah karena mereka selalu menjadi sasaran penguasa dan birokrat. Mereka berusaha bermitra dengan pengusaha-pengusaha kecil non-Tionghoa. Walau belum 100% perubahan tersebut terjadi, namun hal ini sudah menunjukkan adanya tren perubahan pandangan pemerintah dan warga pribumi terhadap masyarakat Tionghoa. Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya, ataupun atraksi Tionghoa dilarang dipertontonkan di depan publik, saat ini telah menjadi pemandangan umum hal tersebut dilakukan. Di Medan, Sumatera Utara, misalnya, adalah hal yang biasa ketika warga Tionghoa menggunakan bahasa Hokkien ataupun memajang aksara Tionghoa di toko atau rumahnya. Selain itu, pada Pemilu 2004 lalu, kandidat presiden dan wakil presiden Megawati-Wahid Hasyim menggunakan aksara Tionghoa dalam selebaran kampanyenya untuk menarik minat warga Tionghoa
5. Langkah
apa yang dapat anda sarankan untuk menghilangkan isu pribumi dan non pribumi di
Indonesia?
Menurut saya,
cara menghilangkan isu pribumi dan
non pribumi adalah dengan cara menggalakkan hak kesetaraan bagi seluruh warga
negara seperti yang dilakukan di Amerika sejak satu abad yang lalu. Meskipun di
Amerika tetap ditemukan tindakan rasisme, saya yakin, dengan sifat warga negara
Indonesia yang sangat toleran terhadap perbedaan akan menjadi lebih mudah.
Dengan begitu, akan hilang isu pribumi dan non pribumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar